Tatkala




Pagi buta.
Hidung-hidug berlomba, mengendus rakus sedap masakan tanpa mencela.
Mendahului mata yang masih enggan terbuka.
Belai lembut matahari terus merayu, hangat sinarnya memaksa raga-raga siap melaju.
Saat langkah-langkah kaki mulai beradu, bukan saja derapnya yang terdengar merdu.
Asap kuning-kelabu dari sisa bakaran batu menuntun lengkung bibir-bibir baru menuju astana raja.
Ya. Disanalah tempat prajurit-prajurit bernyanyi tanpa nada. Sampai telinga-teliga sakit.

Kala surya meraja.
Tubuh tegap berbalut peluh, berjalan murung meunju bandar labuh.
Di pematang, anak-anak kecil berlari-lari suka cita, bermain tanpa jenuh.
Sepasang mata mengintip dari balik anyaman bambu mengawasi batu-batu yang saling beradu.

Wakru petang tiba.
Para hamba berduyun-duyun mengambil wudhu.
Bak permadani hamparan sujud tergelar, tua-muda serentak menjalankan fardu.
Lantunan ayat-ayat suci menjadi candu, musik pengiring tiap hati yang lesu.

Manakala rembulan terbahak.
Landasan pacu menuju tanah mimpi siap dibentangkan.
Lidah-lidah mulai bermain kata, telinga bersiap menangkap dan hati bertugas menjaganya.
Celoteh-celoteh girang menggelitik dada, membentuk bingkai penuh  cerita.
Semilir angin menembus jendela, menuntun anak-anak kota selalu merindukan desa.
Tiap-tiap deru laju truk yang melintas, menjadi detik menunggu lelap. Hingga datang gelap, hingga esok kembali bersiap.

Bersedihlah kau yang bersedih.
Bergembiralah aku yang gembira.

Aku dapat sekantung bingkisan, untuk Ayah dan Ibu di rumah.
Dari Kertayasa, desa para pngrajin tampah.







Banjarnegara, Agustus 2015

WNF











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Sudut Matamu

Jogja Sore Itu

SunLife Edufair 2017: Financial Planing For Brighter Monday!